Pengusaha Terseret
Acaranya makan siang. Dengan delapan
pengusaha besar di Jakarta. Hanya makan siang. Masakan Italia. Di Shangri-La
Hotel.
Saya memanfaatkannya untuk survei
kecil-kecilan. Saya tanya mereka satu persatu. Saya ingin tahu keadaan ekonomi
Indonesia yang akan datang.
Pertanyaan saya sama --meski usaha pokok
mereka tidak ada yang sama: Apakah tahun depan usaha mereka lebih baik? Atau
sama saja? Atau menurun?
Mereka pun bertanya: ukurannya
apa?
Saya tidak mau pakai ukuran. Ini sangat
mikro perusahaan. Tiap perusahaan pasti tahu masa depan masing-masing. Pun bila
dikaitkan dengan kondisi ekonomi dan politik negara.
Mereka pun mulai menjawab secara
berurutan.
"Sedikit lebih baik," kata
yang pertama.
"Sama saja," kata yang
kedua.
Ternyata enam orang menjawab lebih
baik. Dua orang mengatakan sama saja.
"Licik," sela seorang
dari mereka. "Pak Dahlan sendiri belum memberi jawaban,"
tambahnya.
"Betul. Betul. Pak Dahlan
sendiri bagaimana?" kata yang lain serentak.
Terpaksa saya beropini.
"Saya akan lebih baik,"
jawab saya.
Saya lupa untuk jujur. Dari mana bisa
lebih baik?
Tapi saya juga tidak salah. Di saat
ekonomi nasional kurang baik pun pasti ada beberapa perusahaan yang mencapai
kemajuan.
Penurunan ekonomi nasional tidak membuat
semua perusahaan menurun. Ada saja yang di saat sulit masih bisa meraih
kemajuan.
Misalnya mereka yang:
- Jenis usahanya sesuai dengan perubahan
yang terjadi.
- Seluruh jajarannya optimis dan bekerja
lebih keras.
Seminggu sebelum itu, di Hangzhou, saya
makan bersama dengan seorang pengusaha. Yang harga sahamnya naik 200 persen
tahun ini.
Padahal perang dagang
Tiongkok-Amerika sedang berlangsung. Yang membuat banyak perusahaan lain
mengalami penurunan.
"Saya justru bersyukur
terjadi perang dagang," katanya.